DAKWA DALAM KANVAS.

#LOOCALISM : 1st WRITING EVENT

⚠️ cerita ini tidak ada hubungannya dengan plot utama ⚠️

Panas yang terik tidak dapat menyurutkan kehausannya akan cairan berwarna merah yang bernama darah. Dalam gelapnya rimba hijau yang mengelilinginya, ia mendengus kesal. Netra hitamnya telah berganti warna merah darah, nafasnya tersenggal, ia membutuhkan pasokan untuk hidupnya meskipun ia tidak memiliki jantung untuk berdetak. 

"Apa yang dia lakukan di sini?" Wajah anggunnya mengernyit bingung, sepengetahuan vampire murni itu tidak ada yang berani menginjak kaki pada hutan terlarang California ini. Tapi matanya tidak salah, ia melihat gadis perawakan mungil dengan tas gendongnya dan seorang pria paruh baya di belakangnya. 

Wanita dengan paras anggun itu melangkahkan kaki jenjangnya untuk menemui siapa yang berani masuk dalam wilayahnya itu, dilihat dari kejauhan, netranya menatap gadis yang mungkin masih sangat belia itu, air mukanya kebingungan. 
                                         
                                      •   •   •

"Hi, what are you doing in here, girl? Saya baru pertama kali melihat manusia menginjak hutan ini." Aku bertanya pada sosok mungil itu, kulihat matanya beralih menatap lurus netraku. 

"Maaf, Nyonya. Saya hanya mendapat tugas untuk mengunjungi wilayah Hearst Castle ini untuk penelitian dalam studiku. Apakah aku salah mendapatkan alamat?" tanyanya dengan menunjukkan sebuah lembaran kertas kusam, aku melirik sebentar, ah, mungkin itu peta yang dia maksud. Aku sendiri tidak paham, siapa yang berani memerintahkan gadis kuliahan sepertinya datang ke sini? Apa yang akan dijadikan penelitian? 

"Uhm … Nyonya?" panggilnya membuat aku sedikit terperanjat. "Ya? Anyway, jangan panggil saya dengan sebutan itu. Cukup Kirandhya," tukasku padanya. 

"Sorry. Boleh aku meminta kamu untuk mengantarkan aku? Kamu penduduk sini, kan? Aku takut tersasar." Dia menatap manik hitamku yang tersamarkan, sebenarnya aku tidak ingin, sungguh. Namun sepertinya gadis ini sangat membutuhkan, tidak ada salahnya. Sekaligus aku membuktikan ucapan kaum vampire murni, benarkah di sana sering terjadi pembantaian atau hanya bualan belaka. Sekali mendayung, satu dua pulau terlampau pula. 

Aku menganggguk pelan, matanya tampak berbinar. Dengan gerakan tidak sadar ia memeluk jubah milikku, aku terkejut sebentar, lalu perlahan memaklumi, mungkin manusia memang seperti itu. 
                                     
                                      •   •   •

Pandangan mataku mengitari ruangan, kuno dan klasik untuk mendeskripsikan singkat tentang bangunan yang konon katanya keramat ini. Aku merasakan jemari Aira yang meremas jubah hitamku, ngomong-ngomong Aira adalah gadis belia yang aku temui dalam belantara hutam Hearst Castle ini. Gadis rambut panjang sepunggung itu tampaknya takut. Aku menghela napas sekali, untuk vampire murni sepertiku tidak pernah merasakan takut meski dalam kondisi darurat sekalipun. 

"Aku melihat sebuah lemari buku di sana," kata pria paruh baya di belakang ku. Aku bahkan lupa tentang pria itu, pria yang aku temui bersamaan dengan Aira, namanya Yudha kalau tidak salah. 

Bangunan keramat yang Aira bilang untuk penelitian, tampak tidak terurus. Aku sempat berpikir untuk kembali ke hutan, sebab sepengetahuanku, tempat ini bukan untuk dikunjungi, apalagi untuk diteliti. Namun Aira sepertinya sudah kepalang penasaran, dia menarik lenganku untuk ikut bersama Yudha menuju lemari buku yang pamannya katakan. 

"Aku melihat sebuah tulisan," ucapku tiba-tiba membuat mereka mengalihkan pandangan netranya kepadaku. Perlahan kakiku melangkah satu ke depan, menyibak kertas lusuh yang sama kotornya dengan peta yang Aira punya tadi. 

"fpfs fif 7 twfsl dfsl rfyn, pfrz rzsizw fyfz rfoz ifs rjsofin dfsl xjqfsozysdf."

Aku menoleh ke arah Aira, mencoba bertanya apakah gadis itu sendiri paham isi dari kertas itu. Gadis manis itu menggeleng pelan, aku menghela napas, sudah sampai sini, apabila kembali akan menjadi sesuatu yang sulit. Kepalang penasaran akan mitos tempat keramat ini. 

"Bagaimana?" Aira bertanya seraya menumpukan tangan kanan miliknya dalam bilik buku tersebut. Gadis itu menunduk diam, mungkin sama penasarannya denganku. Tangan kecilnya bergerilya melukis asal lemari tua itu, ia sepertinya tidak sadar, perlahan kayu tua itu berbalik. 

"Ruang rahasia, huh?" gumamku. Aku melirik gadis itu yang tampak kebingungan, kami sama-sama terjebak dalam bilik kosong namun gelap ini. Hanya remang obor yang menyala pada sudut ruangan. Aira perlahan memeluk pinggangku, aku merasakan gemetar yang kentara pada seluruh tubuh manusia itu. Sial, bau darahnya sangat menyengat. Bukan lelucon jika aku menghisap darahnya kala seperti ini. 

"Kau melihat sesuatu, Nona?" tanyaku kemudian, dia hanya diam, telunjuk kirinya menunjuk arah tembok lusuh sebelah kanan, bercak darah. 

"Coba kita ikuti jejaknya." Dia hanya mengangguk pelan, aku tetap memeluk bahu sempitnya, kita terjebak, tidak mungkin putar balik meskipun gadis dalam dekapanku ini mati karena ketakutan.

Aku berjalan pelan menelusuri jejak darah dari lantai tanah itu serta tembok putih kusam yang berada di sisi ruangan. Aira tetap bungkam, selayaknya orang bisu atau ada sesuatu yang mencengkram. Netra gelapku yang entah kapan berubah jadi merah darah ini menangkap sebuah ruangan dalam ruangan kumuh ini, aku melirik kembali Aira, mencoba mencari persetujuan. Dia hanya mengangguk. 

"Astaga!" 

Teriakan nyaring suara milik Aira membuatku menolehkan kepala padanya, menilik apa yang salah dari gadis yang telah mengurai dekapannya pada pinggangku. 

"I-itu, mayat," kata Aira dengan terbata, jemari kecilnya menunjuk arah depan. Aku mengikuti gerakan tangannya. Shit, benar banyak mayat di depan matanya. Terhitung 6 mayat, namun satu di antaranya seperti baru, darahnya masih kental dan basah. Seketika mataku kian menggelap, bau darah yang menyeruak, sebagai vampire origin pasti tergoda. 

"Nona, bukan kah itu pamanmu?" Aku menunjuk mayat pria yang terluka pada bagian lehernya, seperti sayatan besar tepat pada jalur pernapasannya, sehingga membuatnya mati. Aku melirik Aira yang matanya berkaca, mungkin merasa sedih melihat pamannya dibunuh secara keji. Manusia memiliki hati nurani yang baik, tidak sepertiku yang kerap juga membunuh manusia berdosa sebagai tumbal kutukanku. 

"Schaefer, Ulger, Bardolf, Alden, Garrick," gumam Aira yang masih bisa tertangkap oleh indra pendengaranku. Sial, dia menangis. Aku menghampirinya, memeluk kembali bahu kecilnya, mencoba menenangkan, meskipun aku tidak tau caranya menghibur manusia yang berkabung dalam duka. 

"Itu siapa?" kataku pelan, dia menjawabnya dengan gumaman lirih, "sejak beberapa waktu lalu, beberapa mahasiswa di kampus hilang secara misterius, mereka sudah lama menghilang. Itu kawan-kawanku." 

"Aneh. Mengapa temanmu sampai kesini? Ah, coba kau urutkan inisial mayat-mayat itu, Nona. Kupikir ada yang janggal di sini," ucapku membuat dia menghentikan tangisnya, menolehkan kepalanya yang menampilkan sembab air muka gadis belia itu. 

"SUBAGY─" 

"A, tepat sekali, gadis mungil. Kau korban terakhir untuk melengkapi namaku," kata pria berumur itu menunjuk paras cantik Aira. Gadis itu tersentak, "Diam di sana, jangan mendekat." Aira ketakutan, aku selalu menahan diri untuk tidak menunjukan diriku yang sebenarnya. Aku memilih bergerak mundur, mencoba menjauh dari Aira dan pria tua yang tengah beradu pandang. 

"Hey, mendekatlah, gadis manis. Selama ini kau lelah dengan hidupmu, bukan? Sebaiknya kau akhiri saja hidupmu hari ini." Pria itu bergerak maju disertai tangannya yang sudah menyiapkan pisau tajam. Sial, dia sangat mengundang hasrat. 

Aku melihat Aira merogoh benda pipih miliknya dan mencoba melakukan sesuatu terhadap benda itu. Aku masih acuh saja, sungguh ini bukan urusanku melihat dua orang saling mengenal itu. 

"Tua bangka, kenapa kau tak pergi ke rumah sakit jiwa? Kurasa kau sakit, pria tua harus duduk diam di rumah, bukan banyak tingkah sepertimu, sekali kutendang saja tulang rusukmu, hancur semua." Aira berujar lagi. Aku melihat pria itu mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya pada gadis itu. Cukup, pikirku. Aku berjalan pelan tanpa suara menghampiri pria tua itu lalu berdiri di belakangnya. 

 "Kau pikir aku bodoh, huh?"

Pelatuknya hendak dilepaskan. Aku mencengkram lehernya dan mengigitnya keras menimbulkan teriakan kesakitan. Aku tidak peduli, bahkan ketika aku melihat pria itu mati kehabisan darah dan Aira yang berjalan mundur menjauhi keberadaanku.


                   #ATHELA  x  #CHALENARA
                   ©2020, All Right Reserved 

Komentar